Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru
SUDAH
umum diketahui bahwa hasil uji kom petensi guru (UKG) sejak 2012 hingga
2015 bergerak stagnan sebagai pertanda rendahnya mutu guru, baik secara
pedagogis maupun akademik. Meskipun di beberapa daerah ada guru yang
menonjol dan berprestasi, rerata kualitas guru di Tanah Air masih
menyedihkan. Belum lagi, jika hal itu diikuti dengan pengamatan langsung
di tingkat sekolah melalui serangkaian pelatihan, sangat terlihat bahwa
guru-guru kita kebanyakan ialah `pegawai’ sekolah yang kurang memahami
filosofi dasar mengajar dan hanya melihat profesi guru sebagai pekerjaan
semata.
Kondisi semacam itu tentu saja tak bisa
dibiarkan jika kualitas pendidikan kita ingin bergerak maju. Kebutuhan
pelatihan guru yang berpangkal pada kebutuhan dasar pengajaran
berkarakter harus dilakukan melalui serangkaian strategi yang tepat,
sesuai, dan aplikatif di tingkat sekolah.Ada banyak sekolah, negeri dan
swasta, yang memiliki tradisi pelatihan yang membangun tradisi
nalar-kritis guru melalui program pengembangan kapasitas yang siklus dan
keberlanjutannya dilakukan sendiri oleh pihak sekolah.
Tiga komponen
Dalam pengalaman Sekolah Sukma Bangsa
(SSB), pelatihan guru merupakan kebutuhan dominan yang harus dilakukan
sekolah, minimal sekali dalam sebulan. Materi pelatihan ditentukan
berdasarkan peta evaluasi kemampuan guru yang mencakup kecakapan
profesi, pedagogis, kepribadian, dan sosial yang diperoleh secara
periodik melalui laporan konselor, kepala sekolah, dewan guru, dan
evaluasi siswa. Data itu kemudian diolah tim pengembang kurikulum untuk
menentukan desain kebutuhan pelatihan guru yang sesuai dengan peta
kemampuan guru.
Ada tiga komponen utama yang sedari awal
harus dipahami guru ketika akan mengajar.Pertama ialah menggali
kemampuan profesi dan kepribadian guru melalui pengenalan gaya belajar
siswa (learning style). Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap
gaya belajar siswa di banyak sekolah sangat memprihatinkan-untuk tidak
menyebutnya sama sekali tak dipahami secara baik. Apalagi, ketika
diakses melalui serangkaian tes, sangat terlihat kemampuan guru
mengaplikasikan gaya belajar siswa sebagai basis membangun strategi
belajar yang tepat bagi anak-anak terlihat masih sangat miskin dan
kurang inovatif.
Mengenali keberbakatan anak melalui peta
gaya belajar menurut saya merupakan pengetahuan dasar yang harus
dipahami guru, termasuk bagaimana cara memetakan gaya belajar itu dari
hari ke hari. Dalam pelatihan, keterampilan membuat instrumen kesiapan
belajar siswa (assessment for learning) merupakan keharusan di
SSB untuk meningkatkan daya nalar dan kritis guru terhadap kondisi siswa
secara utuh. Pendampingan terhadap kemampuan guru ini menjadi domain
wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk selalu memantau dan
mengevaluasinya.
Komponen kedua yang menurut saya juga penting untuk dilatihkan secara terus-menerus ialah memetakan kemampuan gaya mengajar (teaching style)
guru berdasarkan tradisi belajar yang telah diperolehnya selama di
perguruan tinggi. Ada banyak guru yang paham definisi kognitif, afektif,
dan psikomotorik, tapi ketika gaya mengajar ini dibenturkan dengan gaya
belajar siswa, hampir semua guru merasa kesulitan karena di perguruan
tinggi gaya mengajar hanya dipelajari dalam konteks pengetahuan semata
tanpa ada keterkaitan dengan proses mengamati gaya belajar siswa.
Dibutuhkan instrumen yang baik untuk mengajari guru agar memahami secara
sekaligus antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Saya menemukan begitu banyak guru yang
mengetahui gaya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam balutan rumus
A1, C2, P2 dan seterusnya.
Namun, ketika digunakan dalam praktik
belajar mengajar di kelas, itu sama sekali tak terlihat dampaknya
terhadap siswa. Pemahaman gaya mengajar dengan cara ini malah membawa
guru terperosok jauh ke tradisi nalar statis yang sangat formalistis.
Selain kemampuan profesi dan kepribadian tak terasah, pe ngenalan gaya
mengajar secara salah dan serampangan jelas akan membawa guru pada
rutinitas mengajar yang sangat kaku dan miskin inovasi.
Komponen ketiga yang juga penting untuk
membangun tradisi nalar kritis guru ialah mengenalkan mereka secara
aplikatif teori belajar (learning theories) yang sesuai dengan
gaya mengajar mereka dan gaya belajar siswa. Pada tahap ini, jika
dilakukan simulasi secara kreatif melalui sebuah skema perputaran antara
gaya belajar siswa, gaya mengajar guru, dan pemahaman terhadap teori
belajar yang pas, dapat dipastikan kemampuan nalar kritis siswa akan
meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, hal ini jelas akan berdampak juga
pada kemampuan nalar kritis siswa. Meskipun ada begitu banyak teori
belajar, jika diskemakan dan dipertautkan dengan gaya belajar dan
mengajar, menurut pengalaman SSB, itu justru akan meningkatkan kemampuan
instingtif guru untuk cermat dalam memilih teori belajar yang sesuai.
Mempertautkan gaya belajar, gaya
mengajar, dan teori belajar dalam satu tarikan napas program pelatihan
guru di tingkat sekolah jelas akan meningkatkan tradisi nalar kritis
guru. Di dalam pelatih an, guru menjadi terbiasa dan familier untuk
membuat mind-map ketiga komponen itu dalam rangkaian persiapan mengajar.
Misalnya, ketika guru menyadari lebih banyak siswa mereka yang memiliki
gaya belajar auditoris, mereka bisa bereksperimen menggunakan gaya
mengajar yang mengandalkan aspek kognisi dengan pendekatan teori belajar
behavioristik. Ketika dituangkan ke mind-map, terlihat ada
begitu banyak inisiatif dan inovasi yang memungkinkan untuk dilakukan
guru dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Tak ada yang lebih menyenangkan selain
menyaksikan para guru selalu memiliki beragam cara, strategi dan
pendekatan, hingga metode dan media belajar yang juga beragam ketika
mengajar di kelas. Mereka tak lagi mengandalkan rumus-rumus membuat
lesson-plan atau RPP yang biasanya sangat kaku dan hanya berlaku untuk
diri mereka sendiri, tetapi abai melibatkan gaya belajar siswa-siswa
mereka yang sangat beragam dan dinamis.
No comments:
Post a Comment