Mindset Pendidikan 2016 yang Tanya
MENINGGALKAN
kegelapan pendidikan pada 2015 ialah sebuah keharusan. Saya sepakat
dengan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa
persoalan pendidikan terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu yang
singkat. Namun, setidaknya keyakinan untuk membangun mindset baru harus
terus dilakukan karena sejatinya pendidikan merupakan upaya untuk
menjadikan setiap orang memiliki daya nalar yang kritis sekaligus
karakter yang kuat. Jika mindset pendidikan kita sepanjang 2015
penuh dengan kegelisahan menyangkut kebijakan pendidikan yang kurang
responsif mengikuti kehendak dan kemampuan masyarakat, harapan terhadap
mindset perubahan pendidikan pada 2016 harus dimulai.
Setidaknya, ada
dua kebijakan penting yang telah diambil Kemendikbud menyangkut
perubahan mindset pendidikan kita. Pertama adalah penundaan implementasi
Kurikulum 2013 yang belum sempurna dan perlu untuk dievaluasi penahapan
implementasinya, terutama pada cara melatihnya terhadap guru dan esensi
penilaian yang terbilang ruwet dan perlu pembiasaan yang berkelanjutan.
Dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, saya menilai sebenarnya
tidak terlalu signifikan perubahannya jika unit analisis pelatihannya
tetap difokuskan pada guru sebagai individu, sebagai pengampu bidang
studi.
Kebijakan kedua
yang diharapkan juga mampu mengubah mindset para pelaku pendidikan di
tingkat sekolah adalah diubahnya orientasi pelaksanaan UN dari yang
sebelumnya menjadi penentu kelulusan siswa, dengan mengembalikan hak dan
tanggung jawab guru dan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa-siswi
mereka. Kedua kebijakan ini jelas signifikan untuk mengubah mindset dan
orientasi pendidikan kita yang harus lebih besar lagi memercayai
prosesnya daripada hasilnya. Belum lagi persoalan kekerasan di sekolah
yang angkanya masih tetap tinggi, bisa jadi merupakan rentetan dari
persoalan implementasi kurikulum dan standar penilaian jenis UN yang
menyebabkan terjadinya kekerasan serta ketidakjujuran di sekolah.
Strategi implementasi
Kedua kebijakan
tersebut, dalam jangka menengah perlu ditindaklanjuti dengan strategi
implementasi yang memadai agar perubahan mindset benar-benar terjadi.
Karena itu, tak bisa dimungkiri, diperlukan strategi kebudayaan dan
pembudayaan yang pas dan tepat guna bagi perubahan mindset kependidikan
kita dalam konteks rencana implementasi kurikulum baru dan penumbuhan
budaya sekolah yang sehat dan positif.
Jika kebudayaan
ialah sumber energi kehidupan manusia, semisal air, pendidikan ialah
saluran tempat ke mana air harus mengalir. Keduanya tak mungkin kita
pisahkan sampai kapan pun juga. Karena itu, menjadi tuntutan kita untuk
memasukkan strategi kebudayaan dalam rencana implementasi kurikulum baru
serta menumbuhkan budaya sekolah, terutama ketika para guru akan lebih
banyak untuk berinteraksi secara kreatif untuk meningkatkan kompetensi
sikap siswa.
Dalam konstelasi
rencana penahapan implementasi Kurikulum 2013, strategi kebudayaan jelas
harus ditubuhkan dan ditumbuhkan secara sekaligus ke dalam relung jiwa
setiap guru, terutama ketika proses belajar-mengajar berlangsung di
ruang kelas. Bagaimana caranya? Jika granddesign kurikulum baru adalah
penubuhan dan penumbuhan sikap siswa untuk menjadi manusia yang
berbudaya dan berkeadaban, proses berlangsungnya suasana
belajar-mengajar jelas memerlukan sebuah pendekatan yang kreatif dan
menyenangkan. Di sinilah sebenarnya kebutuhan how-to secara praktis perlu dipikirkan secara komprehensif oleh semua stakeholder pendidikan.
Secara praksis, penting untuk memperkenalkan modelmodel pembelajaran berbasis kreativitas (creative learning)
bagi guru-guru kita sebagai strategi implementasi kurikulum baru. Dalam
pembelajaran berbasis kreativitas, guru dapat diperkenalkan dengan
teknik-teknik berpikir kreatif serta jenis-jenis hambatan psikologis (mental blocks)
dalam berpikir kreatif. Pendekatan lain yang juga memungkinkan untuk
meningkatkan cara berpikir kreatif guru ialah memperkenalkan guru dengan
system thinking in school-nya Peter Senge.
Selain kemampuan
berpikir kreatif, guru juga perlu dibekali dengan strategi pembelajaran
kreatif berbasis budaya lokal dan nasional. Ada begitu banyak pendekatan
yang bisa diadaptasi guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung
secara kreatif dan menyenangkan. Tools atau alat yang mungkin digunakan untuk menciptakan pembelajaran kreatif ialah sejenis cara berpikir sebab akibat (causal loops), pembelajaran tematis, behavior over time graphs (BOTG’s), stock and flows, EELDRC (enroll, experience, label learning, demonstrate, review, celebrate), dan narrative chains. Problemnya ialah, adakah skenario ini dalam rencana implementasi Kurikulum 2013?
Metode dan
alat-alat yang disebutkan di atas, jika dirancang dalam sebuah modul
yang bertanggung jawab pasti dapat menjadi jembatan bagi upaya
menumbuhkan sekaligus menubuhkan budaya dan tradisi siswa yang lebih
mandiri dan berkarakter. Dalam jangka panjang, tentu saja kemampuan
inilah yang diharapkan diadaptasi Kemendikbud sebagai alasan
pengembangan
Kurikulum 2013
yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih, dan kritis.
Selain itu, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi
warga negara yang bertanggung jawab, kemampuan mencoba untuk mengerti,
dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan,
memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan
bakat/minatnya, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.
Sekali lagi, jika
diamati secara saksama, rencana Kurikulum 2013 ini bagi saya harus kuat
mengagendakan penguatan kapasitas sekolah dalam rangka menumbuhkan
budaya sekolah yang sehat. Budaya sekolah yang sehat hanya dapat
dibangun melalui strategi kebudayaan yang tepat dengan cara memberikan
guru pelatihan dan workshop yang menunjang kemampuan ber pikir kritis, menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, serta memahami struktur filosofis grand-design kurikulum baru yang lebih berorientasi pada penanaman karakter yang kuat terhadap peserta didik.
Penting untuk diingat, selama lebih dari tiga dekade, perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach. Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective
(1994), mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung
setidaknya di tiga level, yakni individu guru, kelompok, dan sekolah.
Karena itu, strategi kebudayaan dalam pendidikan kita juga seyogianya
memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan
kurikulum berbasis sekolah, serta membiarkan sekolah memiliki strategi
implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang
sesuai dengan visi dan misinya ialah sebuah keniscayaan. Dibutuhkan workshop penguatan kapasitas leadership
guru dan manajemen sekolah dalam proses implementasi Kurikulum 2013.
Dengan ini semua, semoga harapan Kemendikbud agar terjadi perubahan mindset di lingkungan pendidikan kita akan terwujud.
No comments:
Post a Comment