Ruang Sastra Untuk Pendidikan Indonesia

Friday 28 October 2016

 Pembelajaran  Aktif yang OK

Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan penilaian.


A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI

Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).

B. SUMBER DAYA MANUSIA

Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.

C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR

Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.

D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN

Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.

==========

Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.

Tuesday 25 October 2016

Mindset Pendidikan 2016 yang Tanya


Mindset Pendidikan 2016 yang Tanya


MENINGGALKAN kegelapan pendidikan pada 2015 ialah sebuah keharusan. Saya sepakat dengan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa persoalan pendidikan terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun, setidaknya keyakinan untuk membangun mindset baru harus terus dilakukan karena sejatinya pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan setiap orang memiliki daya nalar yang kritis sekaligus karakter yang kuat. Jika mindset pendidikan kita sepanjang 2015 penuh dengan kegelisahan menyangkut kebijakan pendidikan yang kurang responsif mengikuti kehendak dan kemampuan masyarakat, harapan terhadap mindset perubahan pendidikan pada 2016 harus dimulai.

Setidaknya, ada dua kebijakan penting yang telah diambil Kemendikbud menyangkut perubahan mindset pendidikan kita. Pertama adalah penundaan implementasi Kurikulum 2013 yang belum sempurna dan perlu untuk dievaluasi penahapan implementasinya, terutama pada cara melatihnya terhadap guru dan esensi penilaian yang terbilang ruwet dan perlu pembiasaan yang berkelanjutan. Dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, saya menilai sebenarnya tidak terlalu signifikan perubahannya jika unit analisis pelatihannya tetap difokuskan pada guru sebagai individu, sebagai pengampu bidang studi.
Kebijakan kedua yang diharapkan juga mampu mengubah mindset para pelaku pendidikan di tingkat sekolah adalah diubahnya orientasi pelaksanaan UN dari yang sebelumnya menjadi penentu kelulusan siswa, dengan mengembalikan hak dan tanggung jawab guru dan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa-siswi mereka. Kedua kebijakan ini jelas signifikan untuk mengubah mindset dan orientasi pendidikan kita yang harus lebih besar lagi memercayai prosesnya daripada hasilnya. Belum lagi persoalan kekerasan di sekolah yang angkanya masih tetap tinggi, bisa jadi merupakan rentetan dari persoalan implementasi kurikulum dan standar penilaian jenis UN yang menyebabkan terjadinya kekerasan serta ketidakjujuran di sekolah.
 
Strategi implementasi
Kedua kebijakan tersebut, dalam jangka menengah perlu ditindaklanjuti dengan strategi implementasi yang memadai agar perubahan mindset benar-benar terjadi. Karena itu, tak bisa dimungkiri, diperlukan strategi kebudayaan dan pembudayaan yang pas dan tepat guna bagi perubahan mindset kependidikan kita dalam konteks rencana implementasi kurikulum baru dan penumbuhan budaya sekolah yang sehat dan positif.
Jika kebudayaan ialah sumber energi kehidupan manusia, semisal air, pendidikan ialah saluran tempat ke mana air harus mengalir. Keduanya tak mungkin kita pisahkan sampai kapan pun juga. Karena itu, menjadi tuntutan kita untuk memasukkan strategi kebudayaan dalam rencana implementasi kurikulum baru serta menumbuhkan budaya sekolah, terutama ketika para guru akan lebih banyak untuk berinteraksi secara kreatif untuk meningkatkan kompetensi sikap siswa.
Dalam konstelasi rencana penahapan implementasi Kurikulum 2013, strategi kebudayaan jelas harus ditubuhkan dan ditumbuhkan secara sekaligus ke dalam relung jiwa setiap guru, terutama ketika proses belajar-mengajar berlangsung di ruang kelas. Bagaimana caranya? Jika granddesign kurikulum baru adalah penubuhan dan penumbuhan sikap siswa untuk menjadi manusia yang berbudaya dan berkeadaban, proses berlangsungnya suasana belajar-mengajar jelas memerlukan sebuah pendekatan yang kreatif dan menyenangkan. Di sinilah sebenarnya kebutuhan how-to secara praktis perlu dipikirkan secara komprehensif oleh semua stakeholder pendidikan.
Secara praksis, penting untuk memperkenalkan modelmodel pembelajaran berbasis kreativitas (creative learning) bagi guru-guru kita sebagai strategi implementasi kurikulum baru. Dalam pembelajaran berbasis kreativitas, guru dapat diperkenalkan dengan teknik-teknik berpikir kreatif serta jenis-jenis hambatan psikologis (mental blocks) dalam berpikir kreatif. Pendekatan lain yang juga memungkinkan untuk meningkatkan cara berpikir kreatif guru ialah memperkenalkan guru dengan system thinking in school-nya Peter Senge.
Selain kemampuan berpikir kreatif, guru juga perlu dibekali dengan strategi pembelajaran kreatif berbasis budaya lokal dan nasional. Ada begitu banyak pendekatan yang bisa diadaptasi guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara kreatif dan menyenangkan. Tools atau alat yang mungkin digunakan untuk menciptakan pembelajaran kreatif ialah sejenis cara berpikir sebab akibat (causal loops), pembelajaran tematis, behavior over time graphs (BOTG’s), stock and flows, EELDRC (enroll, experience, label learning, demonstrate, review, celebrate), dan narrative chains. Problemnya ialah, adakah skenario ini dalam rencana implementasi Kurikulum 2013?
Metode dan alat-alat yang disebutkan di atas, jika dirancang dalam sebuah modul yang bertanggung jawab pasti dapat menjadi jembatan bagi upaya menumbuhkan sekaligus menubuhkan budaya dan tradisi siswa yang lebih mandiri dan berkarakter. Dalam jangka panjang, tentu saja kemampuan inilah yang diharapkan diadaptasi Kemendikbud sebagai alasan pengembangan
Kurikulum 2013 yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih, dan kritis. Selain itu, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, kemampuan mencoba untuk mengerti, dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.
Sekali lagi, jika diamati secara saksama, rencana Kurikulum 2013 ini bagi saya harus kuat mengagendakan penguatan kapasitas sekolah dalam rangka menumbuhkan budaya sekolah yang sehat. Budaya sekolah yang sehat hanya dapat dibangun melalui strategi kebudayaan yang tepat dengan cara memberikan guru pelatihan dan workshop yang menunjang kemampuan ber pikir kritis, menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, serta memahami struktur filosofis grand-design kurikulum baru yang lebih berorientasi pada penanaman karakter yang kuat terhadap peserta didik.
Penting untuk diingat, selama lebih dari tiga dekade, perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach. Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective (1994), mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yakni individu guru, kelompok, dan sekolah. Karena itu, strategi kebudayaan dalam pendidikan kita juga seyogianya memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah, serta membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya ialah sebuah keniscayaan. Dibutuhkan workshop penguatan kapasitas leadership guru dan manajemen sekolah dalam proses implementasi Kurikulum 2013. Dengan ini semua, semoga harapan Kemendikbud agar terjadi perubahan mindset di lingkungan pendidikan kita akan terwujud.

Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru

Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru


SUDAH umum diketahui bahwa hasil uji kom petensi guru (UKG) sejak 2012 hingga 2015 bergerak stagnan sebagai pertanda rendahnya mutu guru, baik secara pedagogis maupun akademik. Meskipun di beberapa daerah ada guru yang menonjol dan berprestasi, rerata kualitas guru di Tanah Air masih menyedihkan. Belum lagi, jika hal itu diikuti dengan pengamatan langsung di tingkat sekolah melalui serangkaian pelatihan, sangat terlihat bahwa guru-guru kita kebanyakan ialah `pegawai’ sekolah yang kurang memahami filosofi dasar mengajar dan hanya melihat profesi guru sebagai pekerjaan semata.
Kondisi semacam itu tentu saja tak bisa dibiarkan jika kualitas pendidikan kita ingin bergerak maju. Kebutuhan pelatihan guru yang berpangkal pada kebutuhan dasar pengajaran berkarakter harus dilakukan melalui serangkaian strategi yang tepat, sesuai, dan aplikatif di tingkat sekolah.Ada banyak sekolah, negeri dan swasta, yang memiliki tradisi pelatihan yang membangun tradisi nalar-kritis guru melalui program pengembangan kapasitas yang siklus dan keberlanjutannya dilakukan sendiri oleh pihak sekolah.
Tiga komponen
Dalam pengalaman Sekolah Sukma Bangsa (SSB), pelatihan guru merupakan kebutuhan dominan yang harus dilakukan sekolah, minimal sekali dalam sebulan. Materi pelatihan ditentukan berdasarkan peta evaluasi kemampuan guru yang mencakup kecakapan profesi, pedagogis, kepribadian, dan sosial yang diperoleh secara periodik melalui laporan konselor, kepala sekolah, dewan guru, dan evaluasi siswa. Data itu kemudian diolah tim pengembang kurikulum untuk menentukan desain kebutuhan pelatihan guru yang sesuai dengan peta kemampuan guru.
Ada tiga komponen utama yang sedari awal harus dipahami guru ketika akan mengajar.Pertama ialah menggali kemampuan profesi dan kepribadian guru melalui pengenalan gaya belajar siswa (learning style). Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap gaya belajar siswa di banyak sekolah sangat memprihatinkan-untuk tidak menyebutnya sama sekali tak dipahami secara baik. Apalagi, ketika diakses melalui serangkaian tes, sangat terlihat kemampuan guru mengaplikasikan gaya belajar siswa sebagai basis membangun strategi belajar yang tepat bagi anak-anak terlihat masih sangat miskin dan kurang inovatif.
Mengenali keberbakatan anak melalui peta gaya belajar menurut saya merupakan pengetahuan dasar yang harus dipahami guru, termasuk bagaimana cara memetakan gaya belajar itu dari hari ke hari. Dalam pelatihan, keterampilan membuat instrumen kesiapan belajar siswa (assessment for learning) merupakan keharusan di SSB untuk meningkatkan daya nalar dan kritis guru terhadap kondisi siswa secara utuh. Pendampingan terhadap kemampuan guru ini menjadi domain wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk selalu memantau dan mengevaluasinya.
Komponen kedua yang menurut saya juga penting untuk dilatihkan secara terus-menerus ialah memetakan kemampuan gaya mengajar (teaching style) guru berdasarkan tradisi belajar yang telah diperolehnya selama di perguruan tinggi. Ada banyak guru yang paham definisi kognitif, afektif, dan psikomotorik, tapi ketika gaya mengajar ini dibenturkan dengan gaya belajar siswa, hampir semua guru merasa kesulitan karena di perguruan tinggi gaya mengajar hanya dipelajari dalam konteks pengetahuan semata tanpa ada keterkaitan dengan proses mengamati gaya belajar siswa. Dibutuhkan instrumen yang baik untuk mengajari guru agar memahami secara sekaligus antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Saya menemukan begitu banyak guru yang mengetahui gaya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam balutan rumus A1, C2, P2 dan seterusnya.
Namun, ketika digunakan dalam praktik belajar mengajar di kelas, itu sama sekali tak terlihat dampaknya terhadap siswa. Pemahaman gaya mengajar dengan cara ini malah membawa guru terperosok jauh ke tradisi nalar statis yang sangat formalistis. Selain kemampuan profesi dan kepribadian tak terasah, pe ngenalan gaya mengajar secara salah dan serampangan jelas akan membawa guru pada rutinitas mengajar yang sangat kaku dan miskin inovasi.
Komponen ketiga yang juga penting untuk membangun tradisi nalar kritis guru ialah mengenalkan mereka secara aplikatif teori belajar (learning theories) yang sesuai dengan gaya mengajar mereka dan gaya belajar siswa. Pada tahap ini, jika dilakukan simulasi secara kreatif melalui sebuah skema perputaran antara gaya belajar siswa, gaya mengajar guru, dan pemahaman terhadap teori belajar yang pas, dapat dipastikan kemampuan nalar kritis siswa akan meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, hal ini jelas akan berdampak juga pada kemampuan nalar kritis siswa. Meskipun ada begitu banyak teori belajar, jika diskemakan dan dipertautkan dengan gaya belajar dan mengajar, menurut pengalaman SSB, itu justru akan meningkatkan kemampuan instingtif guru untuk cermat dalam memilih teori belajar yang sesuai.
Mempertautkan gaya belajar, gaya mengajar, dan teori belajar dalam satu tarikan napas program pelatihan guru di tingkat sekolah jelas akan meningkatkan tradisi nalar kritis guru. Di dalam pelatih an, guru menjadi terbiasa dan familier untuk membuat mind-map ketiga komponen itu dalam rangkaian persiapan mengajar. Misalnya, ketika guru menyadari lebih banyak siswa mereka yang memiliki gaya belajar auditoris, mereka bisa bereksperimen menggunakan gaya mengajar yang mengandalkan aspek kognisi dengan pendekatan teori belajar behavioristik. Ketika dituangkan ke mind-map, terlihat ada begitu banyak inisiatif dan inovasi yang memungkinkan untuk dilakukan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Tak ada yang lebih menyenangkan selain menyaksikan para guru selalu memiliki beragam cara, strategi dan pendekatan, hingga metode dan media belajar yang juga beragam ketika mengajar di kelas. Mereka tak lagi mengandalkan rumus-rumus membuat lesson-plan atau RPP yang biasanya sangat kaku dan hanya berlaku untuk diri mereka sendiri, tetapi abai melibatkan gaya belajar siswa-siswa mereka yang sangat beragam dan dinamis.

CARA BELAJAR ALA FINLANDIA vs KURIKULUM 2013

Cara Belajar Ala Finlandia: 45 Menit Belajar, 15 Menit Istirahat


Tahukah kamu bahwa untuk setiap 45 menit siswa di Finlandia belajar, mereka berhak mendapatkan rehat selama 15 menit? Orang-orang Finlandia meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa untuk menyerap ilmu baru yang diajarkan justru akan datang, jika mereka memilliki kesempatan mengistirahatkan otak dan membangun fokus baru. Mereka juga jadi lebih produktif di jam-jam belajar karena mengerti bahwa toh sebentar lagi mereka akan dapat kembali bermain.
Di samping meningkatkan kemampuan fokus di atas, memiliki jam istirahat yang lebih panjang di sekolah juga sebenarnya memiliki manfaat kesehatan. Mereka jadi lebih aktif bergerak dan bermain, tidak hanya duduk di kelas. Bagus juga kan jika tidak membiasakan anak-anak dari kecil untuk terlalu banyak duduk.

SI KURIKULUM PENUH TANYA, 2013 KATANYA

FAKTA UNIK SEPUTAR KURIKULUM 2013


  1. Kurikulum 2013 adalah Kurikulum yang ke-10, kurikulum di Indonesia telah berganti-ganti sebanyak 9 kali. ( filosofinya, banyak kurikulum akan menyehatkan badan…. kayak minum obat saja )
  2. Kurikulum 2013 diterapkan sejak Senin 15 Juli 2013. ( namanya juga K13 ya dimulai tahun 2013. Sayangnya mereka lupa bahwa 13 itu angkan keramat…. )
  3. Kurikulum 2013 dihentikan pada Jumat 5 Desember 2014. ( Lho koq cepet amat mas…. )
  4. Sudah 3 tahun berjalan tertatih-tatih, belum terlihat hasil yang signifikan, masih membingungkan dan cenderung membosankan. ( Gue kate juge ape….. )
  5. Dana yang dihabiskan untuk implementasi 7 T lebih. ( Wuihhhh …. angka apa itu ?? )
  6. Pengintegrasian mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kedalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. ( Bertentangan dengan scientific ! )
  7. Penghapusan Mata Pelajaran TIK & KKPI tanpa adanya satupun alasan yang rasional. ( ya No Problemo lah…. lihat saja 3 tahun ke depan … )
  8. K13 akan mengurangi beban Jam belajar siswa, kenyataannya ? di semua jenjang beban ditambah. ( Kerja, kerja, kerja …. capek deh… )
  9. kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan kompetensi karakter, yang tidak akan mungkin dibereskan dengan berjalannya waktu karena sistem pemikiran yang mendasarinya sudah salah sejak awal. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum.
( Untuk lembar penilaian observasi, komponen sikap yang harus dinilai oleh guru adalah tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Guru harus mengamati tujuh sikap agar dapat mengisi setiap kolom penilaian. Apabila dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, berarti ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa. Mungkinkah guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka ?
Persoalannya bukanlah apakah guru mampu atau tidak menilai sikap siswa. Akan tetapi, kecenderungan memasukkan penilaian spiritual dan sikap dalam setiap tatap muka melalui indikator-indikator yang tidak dapat dikuantifikasi inilah yang membuat proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya, yaitu akuisisi ilmu pengetahuan.
Ada dua kemungkinan sikap guru terkait proses penilaian sikap. Guru lebih mengutamakan proses pembelajaran untuk penguasaan materi pelajaran dan mengesampingkan proses penilaian spiritual dan sikap, atau jika ingin mengutamakan keduanya, akhirnya pendalaman materi pembelajaran yang terabaikan.
Banyak guru memilih mengutamakan pembelajaran ketimbang sibuk mengamati perilaku spiritual dan sosial siswa. Akibatnya, penilaian sikap spiritual dan sosial yang dianggap sebagai kekuatan Kurikulum 2013 hanya menjadi formalitas tanpa isi. )
  1. Usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual), Kompetensi Inti 2 (sikap sosial), Kompetensi Inti 3 (pengetahuan), dan Kompetensi Inti 4 (keterampilan). Kompetensi Inti 3 dan 4 sesungguhnya sudah ada dalam kurikulum sebelumnya. Praktis tidak banyak perubahan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menilai kompetensi spiritual dan sosial dalam setiap mata pelajaran ?
( Penilaian kompetensi spiritual dalam Kurikulum 2013 sering kali ditandai indikator yang sangat ritualistik dan reduktif, seperti siswa berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran, atau indikator aneh, seperti siswa dapat bersyukur atas anugerah bahasa Indonesia. Bagaimana menilai rasa syukur seperti ini ? )
Kekacauan dalam implementasi Kurikulum 2013 bukanlah semata-mata persoalan teknis, seperti masalah percetakan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan guru, melainkan karena pijakan teoretis-konseptual Kurikulum 2013 tidak kokoh dan secara praksis pun bermasalah.
Akibatnya, pendidikan hanya menjadi bahan kampanye politisi, entah mengatasnamakan revolusi mental atau apa pun. Namun, ketika tiba waktunya untuk mengoreksi kekeliruan fundamental ini, mereka tak berani mengambil sikap. Alih-alih mencoba memahami mengapa implementasi Kurikulum 2013 gagal, ‘mereka’ lebih suka memilih zona aman dengan argumentasi pinggiran yang jauh dari persoalan utama Kurikulum 2013.

Monday 18 April 2016

Coffee VS Pregnancy

Coffee VS Pregnancy


 For many couples, the child is a gift that God entrusted to be maintained and cared for. Children also become the desire of many people who are already married. That is why the news of the pregnancy would be a happy news to celebrate.

That is also why pregnant women are required to maintain the condition that the content of the bad things that are not desirable as miscarriages occur. One factor that could increase the likelihood of miscarriage is from food and beverages. And it turns out, the drinks that many people enjoy these include considerable danger.

According to a recent study, drinking caffeinated coffee a height of 2 times a day in the weeks before giving birth it could increase the potential for miscarriage until doubled. The potential of miscarriage is also increased if the mother is more than 2 servings of caffeinated coffee during the first 7 weeks of pregnancy.

Caffeine is already known to increase the likelihood of miscarriage in previous health studies, but which became the new news in this study is the coffee consumption in men was also a factor affecting the health of his wife.

It is not yet known exactly why caffeine increases the likelihood of miscarriage, allegedly caffeine possibility of turning off some genes or certain qualities in sperm. However, the researchers are confident that excessive caffeine consumption is not good for the womb.

Coffee drinking habits before pregnancy also affects pregnancy. So should you stop coffee consumption if they plan to become pregnant. Prepare the body first to be free of caffeine, keep body weight and multiply nutrients from food.


However, the content of each woman's condition is different. Although not mean that coffee can make you a miscarriage just like that, but it helps you pay attention to the consumption of coffee from now. Please be healthy yes ladies.