Rumah Sastra Brebes Indonesia
rumahsastraindonesia.blogspot.co.id
Ruang Sastra Untuk Pendidikan Indonesia
Sunday, 18 February 2018
Sunday, 17 December 2017
Foto Kegiatan KIR SMK Nurul Islam Larangan Brebes
Tuesday, 10 October 2017
Foto-Foto Kegiatan Karya Ilmiah SMK Nurul Islam Larangan Brebes
Friday, 29 September 2017
Thursday, 8 June 2017
Sunday, 26 March 2017
Puisi "Ibu" SMK Nurul Islam Larangan
Friday, 28 October 2016
Pembelajaran Aktif yang OK
Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan penilaian.
A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI
Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
B. SUMBER DAYA MANUSIA
Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR
Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.
D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN
Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
==========
Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
Pembelajaran Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a) ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c) lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan penilaian.
A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI
Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
B. SUMBER DAYA MANUSIA
Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR
Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.
D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN
Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
==========
Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
Tuesday, 25 October 2016
Mindset Pendidikan 2016 yang Tanya
Mindset Pendidikan 2016 yang Tanya
MENINGGALKAN
kegelapan pendidikan pada 2015 ialah sebuah keharusan. Saya sepakat
dengan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa
persoalan pendidikan terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu yang
singkat. Namun, setidaknya keyakinan untuk membangun mindset baru harus
terus dilakukan karena sejatinya pendidikan merupakan upaya untuk
menjadikan setiap orang memiliki daya nalar yang kritis sekaligus
karakter yang kuat. Jika mindset pendidikan kita sepanjang 2015
penuh dengan kegelisahan menyangkut kebijakan pendidikan yang kurang
responsif mengikuti kehendak dan kemampuan masyarakat, harapan terhadap
mindset perubahan pendidikan pada 2016 harus dimulai.
Setidaknya, ada
dua kebijakan penting yang telah diambil Kemendikbud menyangkut
perubahan mindset pendidikan kita. Pertama adalah penundaan implementasi
Kurikulum 2013 yang belum sempurna dan perlu untuk dievaluasi penahapan
implementasinya, terutama pada cara melatihnya terhadap guru dan esensi
penilaian yang terbilang ruwet dan perlu pembiasaan yang berkelanjutan.
Dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, saya menilai sebenarnya
tidak terlalu signifikan perubahannya jika unit analisis pelatihannya
tetap difokuskan pada guru sebagai individu, sebagai pengampu bidang
studi.
Kebijakan kedua
yang diharapkan juga mampu mengubah mindset para pelaku pendidikan di
tingkat sekolah adalah diubahnya orientasi pelaksanaan UN dari yang
sebelumnya menjadi penentu kelulusan siswa, dengan mengembalikan hak dan
tanggung jawab guru dan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa-siswi
mereka. Kedua kebijakan ini jelas signifikan untuk mengubah mindset dan
orientasi pendidikan kita yang harus lebih besar lagi memercayai
prosesnya daripada hasilnya. Belum lagi persoalan kekerasan di sekolah
yang angkanya masih tetap tinggi, bisa jadi merupakan rentetan dari
persoalan implementasi kurikulum dan standar penilaian jenis UN yang
menyebabkan terjadinya kekerasan serta ketidakjujuran di sekolah.
Strategi implementasi
Kedua kebijakan
tersebut, dalam jangka menengah perlu ditindaklanjuti dengan strategi
implementasi yang memadai agar perubahan mindset benar-benar terjadi.
Karena itu, tak bisa dimungkiri, diperlukan strategi kebudayaan dan
pembudayaan yang pas dan tepat guna bagi perubahan mindset kependidikan
kita dalam konteks rencana implementasi kurikulum baru dan penumbuhan
budaya sekolah yang sehat dan positif.
Jika kebudayaan
ialah sumber energi kehidupan manusia, semisal air, pendidikan ialah
saluran tempat ke mana air harus mengalir. Keduanya tak mungkin kita
pisahkan sampai kapan pun juga. Karena itu, menjadi tuntutan kita untuk
memasukkan strategi kebudayaan dalam rencana implementasi kurikulum baru
serta menumbuhkan budaya sekolah, terutama ketika para guru akan lebih
banyak untuk berinteraksi secara kreatif untuk meningkatkan kompetensi
sikap siswa.
Dalam konstelasi
rencana penahapan implementasi Kurikulum 2013, strategi kebudayaan jelas
harus ditubuhkan dan ditumbuhkan secara sekaligus ke dalam relung jiwa
setiap guru, terutama ketika proses belajar-mengajar berlangsung di
ruang kelas. Bagaimana caranya? Jika granddesign kurikulum baru adalah
penubuhan dan penumbuhan sikap siswa untuk menjadi manusia yang
berbudaya dan berkeadaban, proses berlangsungnya suasana
belajar-mengajar jelas memerlukan sebuah pendekatan yang kreatif dan
menyenangkan. Di sinilah sebenarnya kebutuhan how-to secara praktis perlu dipikirkan secara komprehensif oleh semua stakeholder pendidikan.
Secara praksis, penting untuk memperkenalkan modelmodel pembelajaran berbasis kreativitas (creative learning)
bagi guru-guru kita sebagai strategi implementasi kurikulum baru. Dalam
pembelajaran berbasis kreativitas, guru dapat diperkenalkan dengan
teknik-teknik berpikir kreatif serta jenis-jenis hambatan psikologis (mental blocks)
dalam berpikir kreatif. Pendekatan lain yang juga memungkinkan untuk
meningkatkan cara berpikir kreatif guru ialah memperkenalkan guru dengan
system thinking in school-nya Peter Senge.
Selain kemampuan
berpikir kreatif, guru juga perlu dibekali dengan strategi pembelajaran
kreatif berbasis budaya lokal dan nasional. Ada begitu banyak pendekatan
yang bisa diadaptasi guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung
secara kreatif dan menyenangkan. Tools atau alat yang mungkin digunakan untuk menciptakan pembelajaran kreatif ialah sejenis cara berpikir sebab akibat (causal loops), pembelajaran tematis, behavior over time graphs (BOTG’s), stock and flows, EELDRC (enroll, experience, label learning, demonstrate, review, celebrate), dan narrative chains. Problemnya ialah, adakah skenario ini dalam rencana implementasi Kurikulum 2013?
Metode dan
alat-alat yang disebutkan di atas, jika dirancang dalam sebuah modul
yang bertanggung jawab pasti dapat menjadi jembatan bagi upaya
menumbuhkan sekaligus menubuhkan budaya dan tradisi siswa yang lebih
mandiri dan berkarakter. Dalam jangka panjang, tentu saja kemampuan
inilah yang diharapkan diadaptasi Kemendikbud sebagai alasan
pengembangan
Kurikulum 2013
yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih, dan kritis.
Selain itu, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi
warga negara yang bertanggung jawab, kemampuan mencoba untuk mengerti,
dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan,
memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan
bakat/minatnya, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.
Sekali lagi, jika
diamati secara saksama, rencana Kurikulum 2013 ini bagi saya harus kuat
mengagendakan penguatan kapasitas sekolah dalam rangka menumbuhkan
budaya sekolah yang sehat. Budaya sekolah yang sehat hanya dapat
dibangun melalui strategi kebudayaan yang tepat dengan cara memberikan
guru pelatihan dan workshop yang menunjang kemampuan ber pikir kritis, menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, serta memahami struktur filosofis grand-design kurikulum baru yang lebih berorientasi pada penanaman karakter yang kuat terhadap peserta didik.
Penting untuk diingat, selama lebih dari tiga dekade, perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach. Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective
(1994), mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung
setidaknya di tiga level, yakni individu guru, kelompok, dan sekolah.
Karena itu, strategi kebudayaan dalam pendidikan kita juga seyogianya
memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan
kurikulum berbasis sekolah, serta membiarkan sekolah memiliki strategi
implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang
sesuai dengan visi dan misinya ialah sebuah keniscayaan. Dibutuhkan workshop penguatan kapasitas leadership
guru dan manajemen sekolah dalam proses implementasi Kurikulum 2013.
Dengan ini semua, semoga harapan Kemendikbud agar terjadi perubahan mindset di lingkungan pendidikan kita akan terwujud.
Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru
Membangun Tradisi Nalar-Kritis Guru
SUDAH
umum diketahui bahwa hasil uji kom petensi guru (UKG) sejak 2012 hingga
2015 bergerak stagnan sebagai pertanda rendahnya mutu guru, baik secara
pedagogis maupun akademik. Meskipun di beberapa daerah ada guru yang
menonjol dan berprestasi, rerata kualitas guru di Tanah Air masih
menyedihkan. Belum lagi, jika hal itu diikuti dengan pengamatan langsung
di tingkat sekolah melalui serangkaian pelatihan, sangat terlihat bahwa
guru-guru kita kebanyakan ialah `pegawai’ sekolah yang kurang memahami
filosofi dasar mengajar dan hanya melihat profesi guru sebagai pekerjaan
semata.
Kondisi semacam itu tentu saja tak bisa
dibiarkan jika kualitas pendidikan kita ingin bergerak maju. Kebutuhan
pelatihan guru yang berpangkal pada kebutuhan dasar pengajaran
berkarakter harus dilakukan melalui serangkaian strategi yang tepat,
sesuai, dan aplikatif di tingkat sekolah.Ada banyak sekolah, negeri dan
swasta, yang memiliki tradisi pelatihan yang membangun tradisi
nalar-kritis guru melalui program pengembangan kapasitas yang siklus dan
keberlanjutannya dilakukan sendiri oleh pihak sekolah.
Tiga komponen
Dalam pengalaman Sekolah Sukma Bangsa
(SSB), pelatihan guru merupakan kebutuhan dominan yang harus dilakukan
sekolah, minimal sekali dalam sebulan. Materi pelatihan ditentukan
berdasarkan peta evaluasi kemampuan guru yang mencakup kecakapan
profesi, pedagogis, kepribadian, dan sosial yang diperoleh secara
periodik melalui laporan konselor, kepala sekolah, dewan guru, dan
evaluasi siswa. Data itu kemudian diolah tim pengembang kurikulum untuk
menentukan desain kebutuhan pelatihan guru yang sesuai dengan peta
kemampuan guru.
Ada tiga komponen utama yang sedari awal
harus dipahami guru ketika akan mengajar.Pertama ialah menggali
kemampuan profesi dan kepribadian guru melalui pengenalan gaya belajar
siswa (learning style). Pengetahuan dan pemahaman guru terhadap
gaya belajar siswa di banyak sekolah sangat memprihatinkan-untuk tidak
menyebutnya sama sekali tak dipahami secara baik. Apalagi, ketika
diakses melalui serangkaian tes, sangat terlihat kemampuan guru
mengaplikasikan gaya belajar siswa sebagai basis membangun strategi
belajar yang tepat bagi anak-anak terlihat masih sangat miskin dan
kurang inovatif.
Mengenali keberbakatan anak melalui peta
gaya belajar menurut saya merupakan pengetahuan dasar yang harus
dipahami guru, termasuk bagaimana cara memetakan gaya belajar itu dari
hari ke hari. Dalam pelatihan, keterampilan membuat instrumen kesiapan
belajar siswa (assessment for learning) merupakan keharusan di
SSB untuk meningkatkan daya nalar dan kritis guru terhadap kondisi siswa
secara utuh. Pendampingan terhadap kemampuan guru ini menjadi domain
wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk selalu memantau dan
mengevaluasinya.
Komponen kedua yang menurut saya juga penting untuk dilatihkan secara terus-menerus ialah memetakan kemampuan gaya mengajar (teaching style)
guru berdasarkan tradisi belajar yang telah diperolehnya selama di
perguruan tinggi. Ada banyak guru yang paham definisi kognitif, afektif,
dan psikomotorik, tapi ketika gaya mengajar ini dibenturkan dengan gaya
belajar siswa, hampir semua guru merasa kesulitan karena di perguruan
tinggi gaya mengajar hanya dipelajari dalam konteks pengetahuan semata
tanpa ada keterkaitan dengan proses mengamati gaya belajar siswa.
Dibutuhkan instrumen yang baik untuk mengajari guru agar memahami secara
sekaligus antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Saya menemukan begitu banyak guru yang
mengetahui gaya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dalam balutan rumus
A1, C2, P2 dan seterusnya.
Namun, ketika digunakan dalam praktik
belajar mengajar di kelas, itu sama sekali tak terlihat dampaknya
terhadap siswa. Pemahaman gaya mengajar dengan cara ini malah membawa
guru terperosok jauh ke tradisi nalar statis yang sangat formalistis.
Selain kemampuan profesi dan kepribadian tak terasah, pe ngenalan gaya
mengajar secara salah dan serampangan jelas akan membawa guru pada
rutinitas mengajar yang sangat kaku dan miskin inovasi.
Komponen ketiga yang juga penting untuk
membangun tradisi nalar kritis guru ialah mengenalkan mereka secara
aplikatif teori belajar (learning theories) yang sesuai dengan
gaya mengajar mereka dan gaya belajar siswa. Pada tahap ini, jika
dilakukan simulasi secara kreatif melalui sebuah skema perputaran antara
gaya belajar siswa, gaya mengajar guru, dan pemahaman terhadap teori
belajar yang pas, dapat dipastikan kemampuan nalar kritis siswa akan
meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, hal ini jelas akan berdampak juga
pada kemampuan nalar kritis siswa. Meskipun ada begitu banyak teori
belajar, jika diskemakan dan dipertautkan dengan gaya belajar dan
mengajar, menurut pengalaman SSB, itu justru akan meningkatkan kemampuan
instingtif guru untuk cermat dalam memilih teori belajar yang sesuai.
Mempertautkan gaya belajar, gaya
mengajar, dan teori belajar dalam satu tarikan napas program pelatihan
guru di tingkat sekolah jelas akan meningkatkan tradisi nalar kritis
guru. Di dalam pelatih an, guru menjadi terbiasa dan familier untuk
membuat mind-map ketiga komponen itu dalam rangkaian persiapan mengajar.
Misalnya, ketika guru menyadari lebih banyak siswa mereka yang memiliki
gaya belajar auditoris, mereka bisa bereksperimen menggunakan gaya
mengajar yang mengandalkan aspek kognisi dengan pendekatan teori belajar
behavioristik. Ketika dituangkan ke mind-map, terlihat ada
begitu banyak inisiatif dan inovasi yang memungkinkan untuk dilakukan
guru dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Tak ada yang lebih menyenangkan selain
menyaksikan para guru selalu memiliki beragam cara, strategi dan
pendekatan, hingga metode dan media belajar yang juga beragam ketika
mengajar di kelas. Mereka tak lagi mengandalkan rumus-rumus membuat
lesson-plan atau RPP yang biasanya sangat kaku dan hanya berlaku untuk
diri mereka sendiri, tetapi abai melibatkan gaya belajar siswa-siswa
mereka yang sangat beragam dan dinamis.
CARA BELAJAR ALA FINLANDIA vs KURIKULUM 2013
Cara Belajar Ala Finlandia: 45 Menit Belajar, 15 Menit Istirahat
Tahukah kamu bahwa untuk setiap 45 menit
siswa di Finlandia belajar, mereka berhak mendapatkan rehat selama 15
menit? Orang-orang Finlandia meyakini bahwa kemampuan terbaik siswa
untuk menyerap ilmu baru yang diajarkan justru akan datang, jika mereka
memilliki kesempatan mengistirahatkan otak dan membangun fokus baru.
Mereka juga jadi lebih produktif di jam-jam belajar karena mengerti
bahwa toh sebentar lagi mereka akan dapat kembali bermain.
Di samping meningkatkan kemampuan fokus
di atas, memiliki jam istirahat yang lebih panjang di sekolah juga
sebenarnya memiliki manfaat kesehatan. Mereka jadi lebih aktif bergerak
dan bermain, tidak hanya duduk di kelas. Bagus juga kan jika tidak
membiasakan anak-anak dari kecil untuk terlalu banyak duduk.
SI KURIKULUM PENUH TANYA, 2013 KATANYA
FAKTA UNIK SEPUTAR KURIKULUM 2013
- Kurikulum 2013 adalah Kurikulum yang ke-10, kurikulum di Indonesia telah berganti-ganti sebanyak 9 kali. ( filosofinya, banyak kurikulum akan menyehatkan badan…. kayak minum obat saja )
- Kurikulum 2013 diterapkan sejak Senin 15 Juli 2013. ( namanya juga K13 ya dimulai tahun 2013. Sayangnya mereka lupa bahwa 13 itu angkan keramat…. )
- Kurikulum 2013 dihentikan pada Jumat 5 Desember 2014. ( Lho koq cepet amat mas…. )
- Sudah 3 tahun berjalan tertatih-tatih, belum terlihat hasil yang signifikan, masih membingungkan dan cenderung membosankan. ( Gue kate juge ape….. )
- Dana yang dihabiskan untuk implementasi 7 T lebih. ( Wuihhhh …. angka apa itu ?? )
- Pengintegrasian mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kedalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. ( Bertentangan dengan scientific ! )
- Penghapusan Mata Pelajaran TIK & KKPI tanpa adanya satupun alasan yang rasional. ( ya No Problemo lah…. lihat saja 3 tahun ke depan … )
- K13 akan mengurangi beban Jam belajar siswa, kenyataannya ? di semua jenjang beban ditambah. ( Kerja, kerja, kerja …. capek deh… )
- kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan kompetensi karakter, yang tidak akan mungkin dibereskan dengan berjalannya waktu karena sistem pemikiran yang mendasarinya sudah salah sejak awal. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum.
( Untuk lembar penilaian observasi,
komponen sikap yang harus dinilai oleh guru adalah tanggung jawab,
jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Guru
harus mengamati tujuh sikap agar dapat mengisi setiap kolom penilaian.
Apabila dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, berarti ada 210 kolom
yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa.
Mungkinkah guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam
dua atau tiga jam tatap muka ?
Persoalannya bukanlah apakah guru
mampu atau tidak menilai sikap siswa. Akan tetapi, kecenderungan
memasukkan penilaian spiritual dan sikap dalam setiap tatap muka melalui
indikator-indikator yang tidak dapat dikuantifikasi inilah yang membuat
proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya, yaitu akuisisi ilmu
pengetahuan.
Ada dua kemungkinan sikap guru
terkait proses penilaian sikap. Guru lebih mengutamakan proses
pembelajaran untuk penguasaan materi pelajaran dan mengesampingkan
proses penilaian spiritual dan sikap, atau jika ingin mengutamakan
keduanya, akhirnya pendalaman materi pembelajaran yang terabaikan.
Banyak guru memilih mengutamakan
pembelajaran ketimbang sibuk mengamati perilaku spiritual dan sosial
siswa. Akibatnya, penilaian sikap spiritual dan sosial yang dianggap
sebagai kekuatan Kurikulum 2013 hanya menjadi formalitas tanpa isi. )
- Usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual), Kompetensi Inti 2 (sikap sosial), Kompetensi Inti 3 (pengetahuan), dan Kompetensi Inti 4 (keterampilan). Kompetensi Inti 3 dan 4 sesungguhnya sudah ada dalam kurikulum sebelumnya. Praktis tidak banyak perubahan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menilai kompetensi spiritual dan sosial dalam setiap mata pelajaran ?
( Penilaian kompetensi spiritual
dalam Kurikulum 2013 sering kali ditandai indikator yang sangat
ritualistik dan reduktif, seperti siswa berdoa sebelum memulai dan
mengakhiri pelajaran, atau indikator aneh, seperti siswa dapat bersyukur
atas anugerah bahasa Indonesia. Bagaimana menilai rasa syukur seperti
ini ? )
Kekacauan dalam implementasi
Kurikulum 2013 bukanlah semata-mata persoalan teknis, seperti masalah
percetakan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan
guru, melainkan karena pijakan teoretis-konseptual Kurikulum 2013 tidak
kokoh dan secara praksis pun bermasalah.
Akibatnya, pendidikan hanya menjadi
bahan kampanye politisi, entah mengatasnamakan revolusi mental atau apa
pun. Namun, ketika tiba waktunya untuk mengoreksi kekeliruan fundamental
ini, mereka tak berani mengambil sikap. Alih-alih mencoba memahami
mengapa implementasi Kurikulum 2013 gagal, ‘mereka’ lebih suka memilih
zona aman dengan argumentasi pinggiran yang jauh dari persoalan utama
Kurikulum 2013.
Monday, 18 April 2016
Coffee VS Pregnancy
Coffee VS Pregnancy
For
many couples, the child is a gift that God entrusted to be maintained and cared
for. Children also become the desire of many people who are already married.
That is why the news of the pregnancy would be a happy news to celebrate.
That is also
why pregnant women are required to maintain the condition that the content of
the bad things that are not desirable as miscarriages occur. One factor that
could increase the likelihood of miscarriage is from food and beverages. And it
turns out, the drinks that many people enjoy these include considerable danger.
According to
a recent study, drinking caffeinated coffee a height of 2 times a day in the
weeks before giving birth it could increase the potential for miscarriage until
doubled. The potential of miscarriage is also increased if the mother is more
than 2 servings of caffeinated coffee during the first 7 weeks of pregnancy.
Caffeine is
already known to increase the likelihood of miscarriage in previous health
studies, but which became the new news in this study is the coffee consumption
in men was also a factor affecting the health of his wife.
It is not
yet known exactly why caffeine increases the likelihood of miscarriage,
allegedly caffeine possibility of turning off some genes or certain qualities
in sperm. However, the researchers are confident that excessive caffeine
consumption is not good for the womb.
Coffee
drinking habits before pregnancy also affects pregnancy. So should you stop
coffee consumption if they plan to become pregnant. Prepare the body first to
be free of caffeine, keep body weight and multiply nutrients from food.
However, the
content of each woman's condition is different. Although not mean that coffee
can make you a miscarriage just like that, but it helps you pay attention to
the consumption of coffee from now. Please be healthy yes ladies.
Subscribe to:
Posts (Atom)