MENANAMKAN PENDIDIKAN
KARAKTER
MELALUI RUMAH SASTRA
BREBES INDONESIA
A.
Latar Belakang
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan.
Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan,
korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu
dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat
kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu
dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat. Keprihatinan
terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk
mengkaji sebab dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai
masalah tersebut telah berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi,
baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap
pentingnya menggalakkan pendidikan karakter. Respon
masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Dikalangan kelompok
pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti,
sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama.
Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan
Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat
itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya,
para guru terutama guru bahasa dan sastra Indonesia ingin menyumbangkan
pemikiran tentang perlunya pendidikan apresiasi sastra
terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui
sastra diharapkan dapat terwariskan nilai-nilai luhur kearifan lokal guna
membendung pengaruh negatif era globalisasi.
B.
Spesifikasi Teknis
Pendidikan Karakter
dan Rumah Sastra Brebes Indonesia
a.
Pendidikan Karakter
Membentuk
siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut
memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan
keputusan moral yang harus ditindak lanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi
hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua
itu menjadi kebiasaan dan membentuk watak atau tabiat seseorang.
Selain itu, pencanangan pendidikan
karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam
persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar, dan dirasakan, yang
mana banyak persoalan muncul yang diindentifikasi bersumber dari gagalnya
pendidikan dalam menyuntikkan nilai - nilai moral terhadap peserta didiknya.
Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan
insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti
yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni kecerdasan yang berkarakter adalah
tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter
di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari
itu, dijalankan dan dipraktekkan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan
sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan
karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah
yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga
pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan
semua kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah, lingkungan
sekolah, dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu
dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang
kelihatannya mulai terputus antara lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga, dan
masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
antara lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan
demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan
pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian
didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat
proses pembentukan tersebut.
Di samping itu, tidak kalah
pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi
terhadap keberhasilan penanaman nilai - nilai etika, estetika untuk pembentukan
karakter. Menurut Qurais Shihab, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai
yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara
keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan
disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Pendidikan karakter melalui sekolah,
tidak semata - mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu,
yaitu penanaman moral, nilai - nilai etika, estetika, dan budi pekerti yang
luhur. Selain itu karakter yang harus dimiliki siswa diantaranya yaitu kerja sama, disiplin, taat, dan tanggung
jawab dan yang terpenting adalah praktekkan dan lakukan dengan disiplin
oleh setiap elemen sekolah.
b.
Rumah Sastra Brebes
Indonesia
Dalam Wikipedia
Indonesia, sastra merupakan kata serapan dari bahasa
Sansekerta
śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata
ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan,
sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan. Maksud dari sastra
lisan di sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu.
“Rumah Sastra Brebes
Indonesia”
adalah salah satu media atau wadah pendidikan karya siswa-siswi indonesia
khususnya masyarakat brebes yang memiliki kreativitas dan inovasi dibidang
sastra. Kata sastra pada “Rumah Sastra
Brebes indonesia” tidak selalu identik hanya terfokus pada tulisan saja,
tetapi lebih bersifat umum dalam artian “Rumah
Sastra Brebes Indonesia” ini mencoba untuk berbagi ilmu dan pengetahuan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Diharapkan dengan melalui “Rumah Sastra Brebes Indonesia”
sedikitnya bisa membantu untuk mencerdaskan serta menanamkan pendidikan
karakter yang lebih baik lagi. Di dalam “Rumah
Sastra Brebes Indonesia” terdapat berbagai macam pendidikan baik secara
formal maupun non formal.
Pendidikan formal misalnya adalah SMK Nurul
Islam larangan tempat penulis berbagi ilmu. Di sekolahan tersebut, penulis
mencoba membuat komunitas “Rumah Sastra
SMK Nurul Islam larangan” Kegiatan pada komunitas Rumah Sastra SMK Nurul
Islam pun bervariasi, mulai dari membaca
puisi, belajar membuat cerpen, belajar membuat pantun, bermain drama, sampai
dengan tutorial teknik perbaikan sepeda motor dan mobil. Semua kegiatan
tersebut bisa di lihat di youtube atau blogger yang sudah penulis buat.
Sedangkan untuk pendidikan non formal misalnya
kegiatan belajar al quran bersama di masjid al ikhlas setiap sore, belajar
komputer bersama di rumah penulis walaupun masih sangat sederhana dan sedikit
penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan.
C.
Proses dan Tata Cara
Kerja
1.
Relevansi Sastra terhadap
Pendidikan Karakter di Kalangan Siswa
Siswa
adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan
bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung
pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Oleh
karena itu, membangun karakter siswa menjadi pekerjaan
bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting.
Pengajaran
di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang sangat
vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri
siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan
harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta
”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Belajar sastra adalah
salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi siswa sebagai pencipta
maupun penikmat sastra. Didalamnya terdapat muatan mendidik yang tersirat dan
tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna sesuai dengan perkembangan
jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra itu sendiri. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya
sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam
pendidikan karakter. Cerita rakyat “Malin Kundang” mengajarkan kepada kita
bagaimana kita berbakti sama orang tua.”Jaka Tarub” mengajarkan
anak mengenai pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan.
Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri,
sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti
pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
2.
Pengaruh Apresiasi Sastra
Terhadap Karakter Siswa
Minat terhadap sastra kini mengalami
degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan jaman yang serba instan dan serba
cepat. Karya sastra anak didominasi oleh komik-komik dari luar negeri
seperti Spongebob, Dora the Explorer, Naruto, dan sebagainya. Bahkan
tradisi mendongeng untuk peninabobokan anak sebagai pengantar tidur sang
anak sudah tidak
menarik lagi bagi seorang anak dan menjadi sesuatu yang sangat asing.
Membaca karya sastra
bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan karena keindahannya, melainkan juga
untuk memperkaya wawasan dan daya nalar. Sastra adalah vitamin batin, karena
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada pembacanya dan memberikan
pencerahan. Mengingat peranan sastra dalam pengembangan kepribadian pembacanya,
maka pengajaran sastra di sekolah sangatlah penting.
Melalui
pengajaran sastra, siswa tidak hanya diperkenalkan kekayaan sastra Indonesia
dan dunia, tokoh-tokoh dalam kesusastraan, bahkan juga diperkenalkan pada
kekayaan isi karya sastra itu sendiri. Dengan membaca dan memahami karya
sastra, berarti siswa mencoba memahami kehidupan, mencoba memperoleh
nilai-nilai positif dan luhur dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya
batinnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sidney (dalam Alwasilah, 2001:31)
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada
karya sastra. Banyak hal yang dapat diperoleh dari
sastra. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil
dari sastra lama yaitu sebagai berikut:
a) Dapat
berperan
sebagai hiburan dan media pendidikan,
b) Isinya
dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur.
c) Isinya
dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban
bangsa,
d) Pergelarannya
dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan,
e) Proses
penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis,
f) Sumber
inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain,
g) Proses
penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan
rendah hati,
h) Pergelarannya
memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis,
i)
Pengaruh asing yang ada
di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang
luas.
3.
Pemberdayaan Pembelajaran
Apresiasi Sastra di Sekolah
Dalam
Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan
bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Seperti penjelasan di atas, sesungguhnya
pembelajaran sastra memiliki tujuan yang mulia dan besar. Hanya saja, tujuan
tersebut cuma akan
menjadi slogan apabila dalam pembelajaran sastra di sekolah tidak dilakukan
secara maksimal. Jadi, untuk mewujudkan dan mengembalikan
pembelajaran sastra pada tujuan tersebut, maka pembelajaran apresiasi sastra
yang saat ini lesu dan tak berdaya ini harus kembali diberdayakan. Dalam
rangka pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, ada beberapa
strategi yang bisa dilakukan yaitu sebagai berikut:
a) Memasukkan
pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah.
b) Membuat
slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat
sekolah untuk bertingkah laku yang baik.
c) Membiasakan
perilaku
yang positif di kalangan warga sekolah.
d) Melakukan
pemantauan secara kontinyu.
Selain strategi tersebut, guru sebagai
pendidik juga harus mempunyai ketertarikan terhadap sastra, berikut beberapa
hal yang perlu dicermati oleh guru itu sendiri:
A.
Sikap
Guru
Selama ini guru seolah
terpasung kreativitas dan jiwa inovasinya dalam melaksanakan tugasnya bila
hasil upayanya hanya selalu dikaitkan dengan hasil Ujian Nasional. Banyak pihak
yang menghakimi guru hanya berdasarkan pencapaian nilai Ujian Nasional yang
mampu diraih oleh siswanya. Bila siswanya meraih nilai Ujian Nasional yang
tinggi, maka hal ini dijadikan indikator bahwa guru yang bersangkutan telah
cukup berhasil dalam melaksanakan pembelajaran. Anggapan yang demikian
berakibat banyak guru yang cenderung pada pelatihan mengerjakan soal kepada
siswa-siswanya. Kecenderungan semacam ini justru mencederai tujuan dan
hakikat pembelajaran apresiasi sastra.
Untuk
itu, pada pemberdayaan
pembelajaran apresiasi sastra hendaknyasikap
guru perlu diubah. Dalam diri guru harus ditumbuhkan sikap untuk membuang
jauh-jauh orientasi ke nilai Ujian Nasional. Sebab, pembelajaran apresiasi
sastra bukan semata-mata ditujukan agar meraih nilai Ujian Nasional yang
tinggi, melainkan pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan, mengingat banyak
kandungan nilai yang terdapat dalam sastra yang dapat dijadikan bekal siswa
dalam kehidupannya.
B. Peran Guru
Dalam
pembelajaran apresiasi sastra selama ini, terkesan bahwa guru banyak berperan
sebagai informator tunggal. Sehingga terbuka kemungkinan guru dijadikan sumber
utama dan satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Hal ini melahirkan
kecenderungan guru untuk memerankan diri sebagai ’hakim’ yang sangat
menentukan ’ini benar’ dan ’ini salah’.
Pembelajaran
apresiasi sastra akan lebih berdaya bila guru mampu menempatkan diri sebagai:
1. Apresiator yang
menjembatani antara karya sastra sebagai bahan ajar dan siswa sebagai penikmat
karya sastra.
2. Motivator yang
mampu menumbuhkan rasa apresiasi pada diri siswa.
3. Perunding yang
mampu dengan penuh kearifan dan kebijakan mengakomodasikan berbagai tanggapan
dari siswa sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap karya sastra yang tengah
dinikmati serta dihayati
C.
Kualifikasi
Guru
Secara teknis, guru-guru
bahasa umumnya tidak otomatis juga mampu menjadi guru sastra. Akibatnya,
pembelajaran apresiasi sastra akan cenderung bersifat teknis-teoretis. Lebih
ironis lagi bila guru sendiri tidak menyukai sastra sehingga tak pernah
menambah wawasan sastranya dengan membaca buku-buku sastra berkualitas.
Bagaimana siswa akan mencintai sastra apabila guru belum mampu menjadi contoh
bagi siswanya?
Berkenaan dengan hal
tersebut, pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra akan semakin berarti
apabila guru bahasa mau dan mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya
sebagai guru sastra. Guru harus benar-benar memahami hakikat dan tujuan
pembelajaran apresiasi sastra, termasuk di dalamnya mampu dan terampil
mengapresiasi karya sastra. Selain itu, guru juga memiliki rasa cinta kepada
sastra, memiliki pemikiran kritis dalam menganalisis karya sastra, serta
memiliki pandangan tertentu tentang sikap hidup dan nilai-nilai hidup sehingga
mampu memilih dan memilah karya sastra yang tepat untuk diberikan kepada siswa
serta cara menyajikannya.
D.
Lingkungan
yang Mendukung
Pemberdayaan pembelajaran
apresiasi sastra tidak dapat dilepaskan bila lingkungan yang ada turut mendukung.
Hal ini harus diciptakan baik oleh guru, siswa, maupun sekolah. Salah satu di
antaranya adalah penyediaan bacaan-bacaan sastra. Dalam hal ini perpustakaan
memegang peran yang utama.
Hanya
saja bacaan sastra di perpustakaan sekolah seringkali sangat terbatas. Untuk
menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari media
cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca oleh
semua. Bila upaya-upaya tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin pembelajaran
sastra di sekolah menjadi bergairah sehingga mampu mencapai tujuan yang telah
dirumuskan.
4.
Upaya yang Bisa Dilakukan
Pendidik Melalui Sastra
Sebagai wujud untuk
menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan karakter
dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa dilakukan
oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan
nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan
pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari
mata pelajaran tersebut.
a.
Cerpen
Pendidik bisa menggunakan
perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam
hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan
nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan
kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta
didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
a.
Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam
bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi
dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan
perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik
(musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak
peserta didik.
b.
Drama
Pendidik bisa juga
menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang
berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi
langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami
dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa
dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta
didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan
nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih
menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta
didik.
d. Novel
Menggunakan
novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam
masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak
memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk
dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi
yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya
setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu
memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
e. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai
nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat
akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena
nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
f. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra
lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan
contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita
rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara
yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik atau bahkan
dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun
jangan terlepas dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena
dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman
materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang
akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga
mendidik.
Saran
Melalui
pengajaran sastra, diharapkan dapat berperan dalam membentuk karakter
yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan
maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat
baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif
terhadap karya sastra.
Biodata Penulis
Nama : Purwanto, S.Pd
Tempat tanggal Lahir : Brebes, 12 Agustus 1983
Alamat : Desa
Banjarharjo, RT 09 RW 04 Banjarharjo
Pekerjaan : Guru SMK Nurul Islam
Larangan Brebes
No Hp : 0857 4224 3232
DAFTAR
PUSTAKA
5.
Deny Purwanto.
2011. http://fkip.um-surabaya.ac.id/2011/04/29/pendidikan-karakter-melalui-pembelajaran-sastra .
6.
Suyanto. 2009. Urgensi
Pendidikan Karakter. http:// www. mandikdasmen. depdiknas.
go.id/web/pages/urgensi.html.
7. Pritchard, I. 1988. ”Character \education:
Research Prospect and Problem” American Journal of Education.
8. Haryadi.
1994. Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.