CERPEN
A.
Pengertian Cerpen
Pengertian Cerpen - Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa.
Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian,
peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak
mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431).
Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen memang sulit untuk ukuran yang umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10 sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam. Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).Pengertian Cerpen
Cerita pendek adalah karangan pendek yang berbentuk prosa.Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mngandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
B. Unsur-unsur intrinsik yaitu :
Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176) mengatakan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya di sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen memang sulit untuk ukuran yang umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10 sampai 20 menit. Jika cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam. Yang jelas tidak ada cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).Pengertian Cerpen
Cerita pendek adalah karangan pendek yang berbentuk prosa.Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan dan mngandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
B. Unsur-unsur intrinsik yaitu :
1.
Tema, yaitu pokok gagasan menjadi dasar
pengembangan cerita pendek. Tema suatu cerita mensegala persoalan, baik itu
berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan dan
sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh
terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja temanya itu dititipkan pada
unsur penokohan, alur, ataupun pada latar.
2.
Plot atau alur, yaitu rangkaian peristiwa yang
direka dan dijalin dengan seksama sehingga menggerakkan jalan cerita melalui
perkenalan klimaks dan penyelesaian.
3.
Penokohan dan perwatakan yaitu cerita pengarang menggambarkan
dan mengembangkan watak para pelaku yang terdapat di dalam karyanya.
4.
Seting atau latar yaitu tempat dan waktu terjadinya
cerita. Latar ini berguna untuk memperkuat tema, menuntun watak tokoh, dan
membangun suasana cerita. Latar terdiri atas latar tempat, waktu dan sosial.
5.
Sudut pandang yaitu posisi pengarang dalam
membawakan cerita.
6.
Amanat, yaitu pesan yang ingin disampaikan
pengarang melalui karyanya kepada pembaca atau pendengar. Pesan bisa berupa
harapan, nasehat, kritik dan sebagainya.
Selain unsur Intrinsik, dalam cerpen
dikenal adanya unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur luar yang berpengaruh
terhadap penciptaan suatu bentuk karya sastra.
B.
Unsur ekstrinsik itu
antara lain
1.
latar belakang pengarang,
2.
keadaan sosial budaya ketika karya
sastra itu diciptakan
ciri-ciri sebagai berikut
1.
alur lebih sederhana,
2.
tokoh yang dimunculkan hanya beberapa
orang,
3.
latar yang dilukiskan hanya sesaat
dan dalam lingkungan yang relatif terbatas,
4.
tema dan nilai-nilai kehidupan yang
disampaikan relatif sederhana.
C.
Fungsi sastra dalam hal ini
cerpen dibagi dalam lima golongan yaitu :
1.
Fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang,
gembira, serta menghibur para penikmat atau pembacanya.
2.
Fungsi didaktif, yaitu mengarahkan dan mendidik para
penikmat atau pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang
terkandung didalamnya.
3.
Fungsi estetis, yaitu memberikan keindahan bagi
para penikmat atau para pembacanya.
4.
Fungsi moralitas, yaitu fungsi yang mengandung nilai
moral sehingga para penikmat atau pembacanya dapat mengetahui moral yang baik
dan tidak baik bagi dirinaya.
5.
Fungsi relegiusitas, yaitu mengandung ajaran agama yang
dapat dijadikan teladan bagi para penikmatnya atau pembacanya.
D. Teknik menulis cerita pendek adalah sebagai berikut
1. Paragraf pertama yang mengesankan
Paragraf pertama merupakan kunci pembuka. Cerita pendek merupakan karangan pendek, paragraph pertama dapat langsung masuk pada pokok persoalan, dan bukannya melantur pada hal-hal yang klise apalagi bila kemudian terkesan menggurui. Hal tersebut tentunya hanya menimbulkan kebosanan dan rasa apatis bagi pembacanya.
2. Menggali suasana
Paragraf pertama merupakan kunci pembuka. Cerita pendek merupakan karangan pendek, paragraph pertama dapat langsung masuk pada pokok persoalan, dan bukannya melantur pada hal-hal yang klise apalagi bila kemudian terkesan menggurui. Hal tersebut tentunya hanya menimbulkan kebosanan dan rasa apatis bagi pembacanya.
2. Menggali suasana
Melukiskan suatu latar kadang-kadang memerlukan detail yang agak
apik dan kreatif. Penggambaran suasana yang biasa-biasa dan sudah dikenal umum
tidak akan menarik bagi pembaca. Jika hendak melukiskan keadaan kota Jakarta
dengan gedung-gedung yang tinggi, kesemerawutan lalu lintas, dan keramain
kotanya, penggambaran itu tidaklah menarik Karena penggambaran tersebut bukan
merupakan hal yang baru. Akan tetapi, bila melukiskan keadaan kota Jakarta
dengan mengkaitkannya pada suasana hati tokoh ceritanya penggambaran itu lebih
menyentuh pembacanya
3. Menggunakan
kalimat efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang
langsung memberikan kesan kepada pembacanya. Dengan menggunakan kalimat
efektif, pembaca diharapkan dapat lebih mudah menangkap maksud dari setiap
bagian cerita hingga tamat.Selain menggunakan kalimat efektif pengarang juga
dituntut untuk memiliki kekayaan kosakata dan gaya bahasa agar cerita yang
dibuatnya dapat mengalir dengan lancer dan tidak kering serta membosankan.
4. Menggerakkan tokoh (karakter)
4. Menggerakkan tokoh (karakter)
Dalam cerita selalu ada tokoh.
Tokoh-tokoh yang hadir senantiasa bergerak secara fisik atau psikis hingga
terlukis kehidupan yang sama dengan kehidupan sehari-hari.
5. Fokus cerita
5. Fokus cerita
Dalam cerita pendek, segala bentuk harus berfokus pada satu
persoalan pokok.
6. Sentakan akhir
6. Sentakan akhir
Cerita harus diakhiri apabila persoalan sudah dianggap selesai.
Kecenderungan cerita-cerita mutkhir adalah sentakan akhir yang membuat pembaca
ternganga dan penasaran. Yang jelas, teks cerita pendek sudah berakhir
sebagaimana dikehendaki pengarangnya.
Ringkasnya, akhir cerita merupakan sentakan yang membuat pembaca terkesan. Senyum-senyum, menarik napas panjang atau merenung dalam karena terharu tanpa harus menuliskan kata-kata sedih. Kunci semua itu ada pada sentakan akhir dalam paragraph penutup cerita itu.
1.
Tugas Psikomotorik
a.
Bacalah Cerpen “Senyum Karyamin”
Karya Ahmad Tohari kemudian jawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Cerpen Senyum Karyamin
Senyum Karyamin*
Karyamin melangkah pelan
dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang
digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah
licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang
pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana.
Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan
menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada
telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki
kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan
tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.
Meskipun demikian, pagi
ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke
bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap
kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para
pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka
sendiri.
Kali ini Karyamin
merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki
dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian
keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus
mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh
beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan
selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh
udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan
kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
“Bangsat!” teriak
Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir
sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah.
Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil
mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama.
Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara
menertawakan diri mereka sendiri.
“Sudah, Min. Pulanglah.
Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang
diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
“Memang bahaya
meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda
petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat
menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit
itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya.”
“Istrimu tidak hanya
menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu.
Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu
juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia
menjual buntutnya sendiri!”
Suara gelak tawa
terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi
sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang,
kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup
angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap
menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan
cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih
terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin
yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup
tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin
menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang
lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya
berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan
Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka
melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat
sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang
sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum
dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih
mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap.
“Min!” teriak Sarji.
“Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?”
Mereka tertawa bersama.
Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara
menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan
cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai
perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan
terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya
tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya
yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang. Karyamin hanya
tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar.
Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan.
Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan
tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan
batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya.
Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun
Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.
“Masih pagi kok mau
pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”
Karyamin menggeleng, dan
tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya
yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku minum
saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi
kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum
sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu
kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min? aku tak
tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak
datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali
melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena
sadar, burung yang demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam
sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang
sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing
yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa
di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak
menentang arus karena dorongan angin.
”Jadi, kamu sungguh tak
mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
”Tidak. Kalau kamu tak
tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena
utang-utangku dan kawan-kawan.”
”Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus
kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah
masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun
tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di
tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin
yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin
menyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali
berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik
meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak
pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang.
Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba
burung itu menukik menyambar kan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan
mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik
menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di
hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil
melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin
tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat
mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan.
Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang.
Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya.
“Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang.”
Karyamin mencoba
berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang
menyerbu ke dalam rongga matanyta. Setelah melintasi titian Karyamin melihat
sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada
buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak
berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit,
lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah
salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging
ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di
balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki
tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki
diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin
nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin
sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit
harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak
mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga
kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan
membawa batunya.
Masih dengan seribu
kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia
merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang
sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin
membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat
seorang lelaki dengan baju batik bermotif tertentu dan berlengan panjang.
Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu
adalah Pak Pamong.
“Nah, akhirnya kamu
ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada.
Kamu mau menghindar, ya?”
“Menghindar?”
“Ya, kamu memang
mbeling, Min. di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu
yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang
kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama
kaupersulit.”
Karyamin mendengar suara
napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri.
Tetapi karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum.
Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta
situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh
senyum Karyamin.
“Kamu menghina aku,
Min?”
“Tidak, Pak. Sungguh
tidak.”
“Kalau tidak, mengapa
kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”
Kali ini Karyamin tidak
hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga
mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya.
Lambungnya yang kampong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh
tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong
berusaha menahannya. Sayang, gagal.
Jawablah
pertanyaan –pertanyaan dibawah ini:
1.
Siapakah Karyamin itu?
2.
Burung apakah yang selalu melintas
diatas kepala Karyamin
3.
Mengapa mata karyamin
berkunang-kunang, mukanya membiru, telapak tangannya pucat?
4.
Siapakah yang menggelar dagangan nasi
pecel dibawah pohon waru?
5.
Mengapa karyamin tidak lagi membenci
Si burung yang selalu mengganggunya?
6.
Ikan apakah yang disambar oleh burung
paruh udang?
7.
Mengapa karyamin iri dengan Si burung
paruh udang?
8.
Mengapa karyamin ingin cepat pulang?
9.
Penyakit apa yang diderita istri
karyamin?
10. Bagaimanakah Sifat Karyamin?
2.
Menganalisis Teks Ceita Pendek “Senyum Karyamin” karya ahmad Tohari
3.
Tugas Kognitif
a.
Berikan pendapatmu bahasa yang digunakan dalam cerita pendek
tersebut
Tanggapan bahasa cerita:…..
5.
Tugas Psikomotorik
1.
Bentuklah kelompok yang terdiri atas
4-5 orang
2.
Carilah cerpen yang akan kalian
analisis unsur-unsur instrisiknya. Kalian dapat mencarinya di surat kabar,
majalah, buku kumpulan cerpen, atau situs internet.
3.
Bacakanlah cerpen tersebut secara
bergantian (Kalian dapat membagi-bagi jatah penggalan cerpen yang akan dibaca
bergantian tersebut)
4.
Setelah mendengarkan cerpen tersebut,
analisislah unsur-unsur instrisiknya, yaitu alur, penokohan, dan latar
5.
Diskusikan dengan teman satu kelompok
kalian agar diperoleh hasil analisis terbaik
6.
Buatlah laporan hasil pekerjan.
·
Membandingkan Dua Teks Cerita Pendek
·
Memproduksi dan Menyunting Teks Cerita Pendek
·
Mengevaluasi Teks Cerita Pendek
·
Mengabstraksi teks Cerita Pendek
·
Aplikasi Nilai Keimanan dan Sikap Sosial
·
Uji kompetensi 1
·
Perbaikan
·
Pengayaan
No comments:
Post a Comment