Sudut Pandang
(SP) merupakan salah satu unsur fiksi yang dapat digolongkan sebagai sarana
cerita. Meski begitu unsur ini tidak bisa dianggap remeh.Apa yang Anda lihat
dan rasakan ketika menyaksikan sebuah mobil menabrak sepeda motor, tentu akan
berbeda dengan yang dilihat dan dirasa oleh si pengendara mobil yang menabrak,
atau si pengendara sepeda motor yang menjadi korban tabrakan. Akibat dari
peristiwa itu pun akan berbeda bagi anda, si pengendara mobil, dan si
pengendara motor. Sebab itu, pemilihan SP tidak saja akan mempengaruhi
penyajian cerita, tetapi juga mempangaruhi alur cerita.
SP sendiri
memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita.
Dengan demikian, SP pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang sengaja
dipilih penulis untuk menyampaikan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata
tokoh—atau tokoh-tokoh—dalam ceritanya.
Ragam Sudut Pandang
Ragam Sudut Pandang
Friedman (dalam Stevick,
1967:118) mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya bisa digunakan
untuk membedakan SP. Salah satu pertanyaan itu adalah siapa yang berbicara
kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga, atau pertama)? Pembedaan SP yang
akan saya kemukakan berikut berdasarkan atas pertanyaan tersebut. Secara garis
besar ada dua macam SP, yakni, SP orang pertama dan SP orang ketiga. Hanya
kemudian dari keduanya terbentuk variasi-variasai yang memiliki konsekuensi
berbeda-beda.
1.
SP
Orang Pertama Tunggal
Pengarang
dalam sudut pandang ini menempatkan dirinya sebagai pelaku sekaligus narator
dalam ceritanya. Menggunakan kata ganti “Aku” atau “Saya”. Namun begitu, SP ini
bisa dibedakan berdasarkan kedudukan “Aku” di dalam cerita itu. Apakah dia
sebagai pelaku utama cerita? atau hanya sebagai pelaku tambahan yang menuturkan
kisah tokoh lainnya?
a. “Aku” tokoh utama
Pengarang menempatkan dirinya
sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “Aku”
inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness);
mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan
yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh “Aku”. Tokoh “Aku”
menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.
Apabila peristiwa-peristiwa di dalam
cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal (konflik batin) akibat
dari pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, atau harapan dari tokoh
cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat. Karena anda akan leluasa mengungkapkan
apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh cerita anda.
Sambil
bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi
roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena
memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti
diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan
kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba
menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.
(Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kematian Donny Osmond)
(Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kematian Donny Osmond)
Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas.
Tokoh “Aku” hanya menyampaikan apa yang terlihat oleh matanya. Begitulah, jika
anda memilih SP ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran
tokoh-tokoh lain, selain tokoh “Aku”.
Kebanyakan penulis yang menggunakan
SP ini, seringkali terlalu asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau memperagakannya. Akibatnya
cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila anda
memilih SP ini, anda akan kesulita memperkenalkan tokoh, apakah seorang
perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai melukiskan tokoh “Aku”
lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.
Namun, karena cerita dituturkan oleh
tokoh “Aku”, anda harus menulis dengan bahasa tokoh “Aku”, sesuai dengan
karakter yang telah anda tetapkan. Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda
dari usia anda, akan mempengaruhi bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu,
mengenali dengan baik karakter tokoh anda menjadi sebuah keharusan.
b. “Aku” tokoh tambahan
Pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam
cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh utama. Keberadaan “Aku” di
dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh “Aku” bukanlah pusat
pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau
peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.
Tetangga
saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja
yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang,
bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu
tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya
sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang
menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu
bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati
agung.
(Cerpen
Pencuri karya Putu Wijaya dalam buku Protes)
Dalam penggalan cerita karya Putu Wijaya di atas,
terlihat tokoh “Saya” mengomentari atau memberikan penilaian pada tokoh
utama—tetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang ketiga. Hanya saja
narator ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi sangat terbatas,
tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator, tokoh “Saya” hanya mungkin
mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh “Aku”
bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh “Dia”, namun
komentar itu hanya berupa dugaan dari tokoh “Aku”. Atau kemungkinan berdasarkan
apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh “Dia” atau karakter dari tokoh “Dia”
yang memang telah diketahui secara umum.
2.
SP
Orang Pertama Jamak
Bentuk
SP ini sesungguhnya hampir sama dengan SP orang pertama tunggal. Hanya saja
menggunakan kata ganti orang pertama jamak, “Kami”.
Pengarang
dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili
beberapa orang atau sekelompok orang. Perhatikan petikan di bawah ini.
Kami bekerja sebagai juru masak
di sebuah restoran continental yang brengsek. Kami sebut restoran ini brengsek,
sebab kami diwajibkan memasak sambil menangis. Bayangkan! Kami mengaduk kuah
buntut sambil menangis. Kami memasak nasi goreng, merebus aneka pasta, membuat
adonan pizza, memotong daging ayam, mengupas kentang, semua itu kami lakukan
sambil menangis. Begitulah. Setiap hari selalu ada saja airmata yang meluncur
dari sepasang mata kami; mengalir membasahi pipi, dagu, dan menetes ke dalam
setiap masakan kami.
(Cerpen Resep Airmata karya Noor H. Dee dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta)
(Cerpen Resep Airmata karya Noor H. Dee dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta)
Dalam
SP ini, pembaca mengikuti semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa
orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Narator dalam cerita yang berbicara
mewakili kelompoknya (“Kami”), tidak pernah mengungkapkan jati dirinya kepada
pembaca, seakan-akan dia tidak mempunyai jati diri, selain jati diri
kelompoknya. SP orang pertama jamak ini bisa anda pilih, jika anda ingin
membuat cerita dengan latar sebuah komunitas kecil seperti sekolah, masjid,
keluarga, restoran, dll. Anda bisa memusatkan penceritaan pada seorang tokoh
yang memiliki masalah dengan lingkungan sekitarnya. Jika ini yang dipilih, maka
“Kami” hanya menjadi tokoh tambahan yang menuturkan konflik yang dialami oleh
tokoh utama. Atau justru sekelompok orang itu (“Kami”) yang memiliki masalah
dengan lingkungannya, seperti yang bisa kita lihat pada cerpen Resep Airmata,
karya Nurhadiansyah. Dengan demikian, “Kami” di dalam cerita sekaligus menjadi
tokoh utama, sebagai pusat penceritaan.
3.
SP
Orang Kedua
Pengarang
menempatkan dirinya sebagai narator yang sedang berbicara kepada orang lain,
menggambarkan apa-apa yang dilakukan oleh orang tersebut. SP ini menggunakan
kata ganti orang kedua, “Kau”, “Kamu” atau “Anda” yang menjadi pusat pengisahan
dalam cerita.
Kedua lututmu terasa lemas saat
kau bersandar pada pemadam api yang baru saja dicat merah, putih, dan biru.
Nalurimu ingin berlari mendekati mereka, berteriak, aku juga! Aku juga!
Sekarang kau bisa merasakan penyangkalan yang sudah lama sekali kaulakukan; kau
ingin berlari dan mengatakan kepadanya tentang kehidupanmu selama tiga puluh
satu tahun tanpa dirinya, dan membuatnya berteriak dengan kepastian tanpa dosa:
Oh, kau sungguh putri yang cantik!
(Cerpen Main Street Morning karya Natalie M. Patesch, pengarang cerpen asal Amerika)
(Cerpen Main Street Morning karya Natalie M. Patesch, pengarang cerpen asal Amerika)
Pada
SP ini pembaca seolah-olah diperlakukan sebagai pelaku utama. Pembaca akan
merasa seperti seseorang yang tengah membaca kiriman surat dari kerabat atau
orang terdekatnya. Sehingga membuat pembaca menjadi merasa dekat dengan cerita,
karena seolah-oleh dialah pelaku utama dalam cerita itu.
4.
SP
Orang Ketiga Tunggal
Pengarang
menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak
terlibat dalam cerita. Dalam SP ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut namanya, atau kata gantinya; “Dia” atau “Ia”
SP
orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap cerita. Pada satu pihak, pengarang atau narator dapat bebas
mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di pihak
lain, pengarang atau narator tidak dapat leluasa menguangkapkan segala hal yang
berhubungan dengan tokoh “Dia”, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai
pengamat.
a. SP Orang Ketiga Mahatahu
SP ini sering juga disebut SP ‘mata tuhan’. Sebab dia
berlaku seperti ‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau
narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan,
termasuk motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke
tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran
serta perasaan tokoh-tokohnya.
“Ya
ampun, luar biasa mimpiku ini,” kata Tomas sambil menghela napas, kedua
tangannya memegang setir, memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya
menyengat, rek kereta api di virginia, dan pesta tersebut.
Sungguh
visi yang aneh, pikir makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival,
kanal, perahu, para wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.
(Cerpen Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)
(Cerpen Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)
Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki pikiran dua
atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca. Seperti contoh di atas,
pengarang seakan tahu apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang bersamaan
dia juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.
b. SP Orang Ketiga Terbatas
Dalam SP ini, pengarang juga bisa melukiskan apa yang
dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat
terbatas (Stanton, 1965:26). Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh
ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.
Selalu
ada cita-cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam,
menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana
lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis
bangunan pertokoan yang—yang berderet tak putus—acap kali menghilang dari
pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi
ke pantai.
(Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia Effendi dalam buku Senapan Cinta)
(Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia Effendi dalam buku Senapan Cinta)
Dari contoh di atas, tampak Kurnia Effendi sebagai
pengarang masuk ke dalam benak tokoh “Ia” dan menyampaikan isi kepala tokohnya
itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang ketiga mahatahu. Hanya saja terpadas
pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh utama.
c. SP Orang Ketiga Objektif
Pengarang atau narator dalam SP ini bisa melukiskan
semua tindakan tokoh-tokohnya, namun dia tak bisa mengungkapkan apa yang
dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Dia hanya boleh menduga apa
yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Si
lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan-lahan menghitung tatakan gelas,
mengeluarkan pundi-pundi kulit dari kantungnya dan membayar minumannya dan
meninggalkan persenan setengah peseta
Si
pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar ke jalan, seorang
lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung-huyung tetapi tetap dengan penuh
harga diri.
“Kenapa
tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan yang tidak
tergesa-gesa. Mereka berdua sedang menurunkan semua tirai. “Hari belum lagi jam
setengah dua.”
“Aku
ingin cepat pulang dan tidur.”
(
Cerpen Tempat yang Bersih dan Terang karya Ernest Hemingway dalam buku Salju
Kilimanjaro)
Seperti ternampak pada penggalan cerita karya Ernest
Hemingway di atas, narator hanya berlaku seperti wartawan yang tengah
melaporkan sebuah peristiwa. Posisinya sejajar dengan pembaca. SP ini menuntut
ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan peristiwa, tindakan, latar,
samapi ke detil-detil yang terkecil. Narator tak ubahnya sebuah kamera yang
merekam dan mengabadikan sebuah objek.
5.
SP
Orang Ketiga Jamak
Pengarang
menjadi narator yang menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kaca mata
kolektif. Narator akan menyebut tokoh-tokohnya dengan menggunakan kata ganti
orang ketiga jamak; “Mereka”.
Pada suatu hari, ketika mereka
berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan dengan beberapa anak lelaki dari
kelompok pemuda, dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah
kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya
melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan
syal tartarnya di atas meja…
(Cerpen Mother karya Natalia Ginzburg, pengarang asal Italia)
(Cerpen Mother karya Natalia Ginzburg, pengarang asal Italia)
Pada hakikatnya,
SP ini mirip dengan SP orang pertama jamak. Pembaca menerima semua gerak dan
tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok.
Perbedaannya ada pada posisi narator yang berada di luar cerita, tidak terlibat
dalam cerita yang dituturkannya melalui kaca mata tokoh “Mereka”.
6.
SP
Campuran
Sebuah novel mungkin saja
menggunakan lebih dari satu ragam SP. Bahkan, belakangan ini, SP campuran tak
hanya digunakan dalam novel saja, tetapi juga digunakan di dalam cerpen.
Pengarang menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya
dengan SP yang berbeda-beda menggunakan “Aku”, “Kamu”, “Kami”, “Mereka”, atau
“Dia”.
Seketika
mata Masayu membuka. Lewat pukul sembilan malam ketika lubang pernafasaannya
membaui aroma dari daging yang terbakar. Matanya membelalak menyaksikan api
merambat cepat. Dia merasakan panas di sekujur tubuhnya.
***
Pernahkah
dalam hidupmu, kau merasakan kebencian yang teramat hebat? Sehingga apapun yang
ada di kepalamu selalu tentang bagaiman cara melampiaskannya?
Kami
hanya dua gadis lugu yang tak pernah tahu arti membenci. Sebelum perceraian
Mami dan Papi menyadarakan kami akan arti memiliki. Kami baru menyadari kalau
selama ini kami tak pernah benar-benar memiliki Mami. Mungkin juga begitu yang
dirasakan oleh Papi. Sehingga dia lebih memilih berpisah dengan Mami, dari pada
hidup bersama tetapi tidak merasa memiliki.
Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa. Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi meski hanya sebuah boneka beruang, di mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampai-sampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama Bening dan Rani—kami—yang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.
Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa. Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi meski hanya sebuah boneka beruang, di mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampai-sampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama Bening dan Rani—kami—yang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.
(Cerpen
Melly karya Denny Prabowo)
Pada paragraf pertama digunakan sudut pandang “Dia”
tokoh Masayu. Pengarang berada di luar cerita. Namun pada paragraf berikutnya
pengarang menempatkan dirinya sebagai “Kami” yang berbicara pada “Kau”. Itu
berarti, pengarang menjadi pelaku sekaligus narator di dalam ceritanya. Sebagai
narator, tokoh “Kami” bertutur tentang tokoh lainnya bernama Melly.
Dalam penggunaan SP campuran, dimungkinkan terjadi
pergantian pusat penceritaan dari seorang tokoh ke tokoh lainnya. Dengan
begitu, pembaca akan memperoleh pandangan terhadap suatu peristiwa atau masalah
dari beberapa tokoh.
No comments:
Post a Comment