SUDUT
PANDANG (POINT OF VIEW)
Sudut Pandang adalag cara pengarang menempatkan
dirinya di dalam cerita. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya
merupakan teknik atau siasat yang sengaja dipilih penulis untuk menyampaikan
gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokoh atau tokoh-tokoh dalam
ceritanya.
Jenis-jenis Sudut
Pandang
1. Sudut
Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama
Pengarang menempatkan
dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh
“Aku” inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self
consciousness); mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima
cerita sesuai dengan yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh
“Aku”. Tokoh “Aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.
Apabila
peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik
internal (konflik batin) akibat dari pertentangan antara dua keinginan,
keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat.
Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh
tokoh cerita anda.
Contoh :
Sambil bermain aku melirik topi lakenku.
Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya
tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya
gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari
tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah
yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat
indah. (Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira
Ajidarma dalam buku Kematian Donny )
Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas. Tokoh “Aku” hanya
menyampaikan apa yang terlihat oleh matanya. Begitulah, jika anda memilih SP
ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh-tokoh lain,
selain tokoh “Aku”.
Kebanyakan penulis yang menggunakan SP ini, seringkali terlalu asyik
menceritakan (tell) keseluruhan cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau
memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak
mungkin, apabila anda memilih SP ini, anda akan kesulitan memperkenalkan tokoh,
apakah seorang perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai
melukiskan tokoh “Aku” lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.
Namun, karena cerita dituturkan oleh tokoh “Aku”, anda harus menulis
dengan bahasa tokoh “Aku”, sesuai dengan karakter yang telah anda tetapkan.
Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda dari usia anda, akan mempengaruhi
bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu, mengenali dengan baik karakter tokoh
anda menjadi sebuah keharusan.
2.
Sudut Pandang Orang Pertama sebagai
Pelaku Sampingan
Pengarang menempatkan
dirinya sebagai pelaku dalam cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai
tokoh utama. Keberadaan “Aku” di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan
demikian, tokoh “Aku” bukanlah pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai
narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang
menjadi tokoh utama.
Contoh :
Tetangga saya orangnya terkenal baik.
Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya,
ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar.
Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat
melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan
emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap
persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang
menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.
(Cerpen Pencuri karya Putu Wijaya
dalam buku Protes)
Dalam penggalan cerita
karya Putu Wijaya di atas, terlihat tokoh “Saya” mengomentari atau memberikan
penilaian pada tokoh utama—tetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang
ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi
sangat terbatas, tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator, tokoh “Saya” hanya
mungkin mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh
“Aku” bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh “Dia”,
namun komentar itu hanya berupa dugaan dari tokoh “Aku”. Atau kemungkinan
berdasarkan apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh “Dia” atau karakter dari
tokoh “Dia” yang memang telah diketahui secara umum.
3.
Sudut Pandang Orang Ketiga
Serbatahu
SP ini sering juga disebut SP ‘mata tuhan’. Sebab dia berlaku seperti
‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau narator
mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh
lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta
perasaan tokoh-tokohnya.
Contoh :
“Ya ampun,
luar biasa mimpiku ini,” kata Tomas sambil menghela napas, kedua tangannya
memegang setir, memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya menyengat, rek
kereta api di virginia, dan pesta tersebut. Sungguh visi yang aneh, pikir
makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival, kanal, perahu, para
wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.
(Cerpen
Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)
Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki
pikiran dua atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca. Seperti contoh di
atas, pengarang seakan tahu apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang
bersamaan dia juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.
4.
Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai
Pengamat
Dalam SP ini, pengarang
juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan
dirasakan oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau
terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Stanton, 1965:26). Pengarang tidak
leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya
pada satu atau dua tokoh saja.
Contoh :
Selalu ada cita-cita di dalam benaknya,
untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju
penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti
kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang—yang berderet
tak putus—acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa
bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.
(Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia
Effendi dalam buku Senapan Cinta)
Dari contoh di atas,
tampak Kurnia Effendi sebagai pengarang masuk ke dalam benak tokoh “Ia” dan
menyampaikan isi kepala tokohnya itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang
ketiga mahatahu. Hanya saja terpadas pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh
utama.
No comments:
Post a Comment