Ruang Sastra Untuk Pendidikan Indonesia

Sunday, 22 November 2015

Sudut Pandang Bagian 1

SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
Sudut Pandang adalag cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang sengaja dipilih penulis untuk menyampaikan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokoh atau tokoh-tokoh dalam ceritanya.
Jenis-jenis Sudut Pandang
1.      Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama
Pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “Aku” inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness); mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.
Apabila peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal (konflik batin) akibat dari pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat. Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh cerita anda.

Contoh :
Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah. (Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kematian Donny ) 

Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas. Tokoh “Aku” hanya menyampaikan apa yang terlihat oleh matanya. Begitulah, jika anda memilih SP ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh-tokoh lain, selain tokoh “Aku”.

Kebanyakan penulis yang menggunakan SP ini, seringkali terlalu asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila anda memilih SP ini, anda akan kesulitan memperkenalkan tokoh, apakah seorang perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai melukiskan tokoh “Aku” lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.

Namun, karena cerita dituturkan oleh tokoh “Aku”, anda harus menulis dengan bahasa tokoh “Aku”, sesuai dengan karakter yang telah anda tetapkan. Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda dari usia anda, akan mempengaruhi bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu, mengenali dengan baik karakter tokoh anda menjadi sebuah keharusan.

2.      Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Sampingan
Pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh utama. Keberadaan “Aku” di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh “Aku” bukanlah pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.

Contoh :
Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.
(Cerpen Pencuri karya Putu Wijaya dalam buku Protes)

Dalam penggalan cerita karya Putu Wijaya di atas, terlihat tokoh “Saya” mengomentari atau memberikan penilaian pada tokoh utama—tetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi sangat terbatas, tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator, tokoh “Saya” hanya mungkin mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh “Aku” bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh “Dia”, namun komentar itu hanya berupa dugaan dari tokoh “Aku”. Atau kemungkinan berdasarkan apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh “Dia” atau karakter dari tokoh “Dia” yang memang telah diketahui secara umum.

3.      Sudut Pandang Orang Ketiga Serbatahu
SP ini sering juga disebut SP ‘mata tuhan’. Sebab dia berlaku seperti ‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan tokoh-tokohnya.

Contoh :
“Ya ampun, luar biasa mimpiku ini,” kata Tomas sambil menghela napas, kedua tangannya memegang setir, memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya menyengat, rek kereta api di virginia, dan pesta tersebut. Sungguh visi yang aneh, pikir makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival, kanal, perahu, para wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.
(Cerpen Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)

Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki pikiran dua atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca. Seperti contoh di atas, pengarang seakan tahu apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang bersamaan dia juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.

4.      Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat
Dalam SP ini, pengarang juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Stanton, 1965:26). Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.

Contoh :
Selalu ada cita-cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang—yang berderet tak putus—acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.
(Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia Effendi dalam buku Senapan Cinta)

Dari contoh di atas, tampak Kurnia Effendi sebagai pengarang masuk ke dalam benak tokoh “Ia” dan menyampaikan isi kepala tokohnya itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang ketiga mahatahu. Hanya saja terpadas pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh utama.


No comments:

Post a Comment